Cikaso dan Kisah Kelana Pertama

Oleh: Fitri Maryani



Pagi ini surya meretak di jalanan asing
Sinarnya pecah terserak ke segala liang
Membisikkan kabar jika esok dari kemarin telah datang
Kepada para pengejar mimpi, kepada para pengelana

Bagi sebagian orang pagi hanyalah pagi
Sejenak waktu sebelum siang menjelang
Sejenak masa sesudah malam tenggelam
Namun bagi sebagian lainnya, pagi adalah harapan
Sebab di sana, semoga semoga baru dirapalkan
Meski terkadang sisa hari berlalu sama seperti kemarin
Namun pagi, ia selalu menjadi esok yang setia dinantikan
Bagi semua orang bagaimanapun rupanya saat datang
Entah cerah ataupun mendung, entah sumringah ataupun murung


Pagi ini, langkahku masih tertambat di Cikaso. Semua inderaku masih menikmati segala yang diberikan Sukabumi. Paduan kicau burung serta gemrisik lembar dedaunan saling bersentuhan, adalah sederet nada yang membentuk nyanyian suka cita. Aroma kopi panas dari warung tepi jalan lengkapi romantisnya pagi ini. Tapi sayang, aku bukan penikmat kopi jika belum menelan nasi. Sementara, biar nostrilku saja yang dimanja si pahit nan harum itu. Lidah, kau bersabar saja sampai siang lewat dari jam satu. Matahari sedikit meninggi, sedang nyanyian suka cita cepat sekali tersisih. Berganti deru mesin kendaraan-kendaraan yang lalu lalang mengantarkan tuannya menyongsong hari. Aku sedang menunggu angkutan ke Lembur Pitu di emperan toko, bersama dengan setengah lusin orang lainnya. Sembari bergumul dengan dingin, aku mengingat-ingat bagaimana aku bisa sampai Cikaso. Destinasi yang aku tahu hanya dari sebuah postingan foto seseorang yang aku ikuti di instagram.

58 jam lalu…

Emak sudah mengomel sedari aku bangun pagi jam lima. Menyuruhku segera bersiap-siap karena hari ini aku akan berangkat menginap ke rumah teman di Pekalongan, sementara aku sendiri masih saja bermalas-malasan tidak jelas. Tetapi sebenarnya tidak demikian, aku sedang galau karena temanku mendadak tak bisa dijangkau via telepon atau pesan dari kemarin. Terakhir dia bilang, dia masih tidak pasti apakah ia ikut keluarganya pergi ke luar kota atau tidak. Ia akan memberi kabar pada hari ini mengenai keputusannya, maka aku pun akan memutuskan untuk pergi atau tidak. Aku sudah bersemangat untuk menjelajah Pekalongan dari beberapa hari lalu, namun tiba-tiba saja dia hilang entah ditelan apa. Restu ibu yang sedikit susah didapatkan untuk pergi ke luar kota sendirian masa iya mau aku sia-siakan begitu saja. Begitulah yang ada dipikiranku, lalu aku berselancar di internet mencari destinasi seputaran Jogja. Jogja, bagiku ia adalah kota yang paling tahu benar cara bersolek. Tidak terlalu menor, tetapi mampu menarik perhatian. Banyak sekali destinasi yang menarik minatku, tetapi aku putuskan untuk menjelajahinya lain waktu. 

Perjalanan kali ini harus lah ke barat, kemanapun yang penting ke barat, begitu putusku. Lalu seseorang yang aku ikuti di instagram mengunggah foto air terjun yang apik. Cikaso, begitulah yang tertulis di kolom lokasinya. Bingo. Kemudian aku bermain taruhan. Bukan dengan orang lain, tetapi aku bertaruh dengan diriku sendiri. Aku berimajinasi sedang bermain dalam acara televisi yang sangat aku gemari yaitu Amazing Race. Menggunakan konsep yang sama, aku menantang diriku sendiri untuk mencapai Cikaso. Tanpa bekal informasi transportasi dan akomodasi, aku berangkat dengan percaya diri selangit. Kutinggalkan ponselku lalu berjalan bak seorang pengelana. Sembari menyisipkan tanya jika “masih adakah orang baik di luar sana?”  ke dalam benak kepala, aku melangkahkan kaki. Tentu saja dengan berbohong kepada ibu bahwa aku akan menemui kawan di Pekalongan. Ada perasaan tidak enak hati pastinya, tetapi aku berjanji suatu waktu pasti akan berterus terang padanya. Terkadang, aku lebih memilih untuk meminta maaf dari pada meminta restu. Ahh, itu adalah peraturan nomor 19 dalam The Pitron’s Theory.


58 jam terlewati, akhirnya aku menjejakkan kaki di Cikaso.


Ohh jika kau bertanya, dari mana aku berangkat hingga perlu waktu sebanyak itu, aku berangkat dari kota Ngawi, kabupaten paling barat di provinsi Jawa Timur. Sebenarnya tidak semua waktu aku habiskan dalam perjalanan ke Cikaso. Ada 30 jam aku habiskan waktu untuk singgah di Jogja. Ohh benar, di tengah perjalanan tiba-tiba aku memutuskan untuk turun dari bus dan menyapa Jogja barang sebentar. Lalu sisanya, itu adalah waktu yang sesungguhnya diperlukan untuk perjalanan menuju Cikaso.


Hari sudah sore ketika aku sampai di Cikaso. Semesta memang baik,
tirai hujan akhirnya tersibak, pamerkan kembali surya dibaliknya untuk terangi Sukabumi yang sejak pagi kelabu. Sepertinya dia juga tahu, jika hujan anaknya yang satu ini jadi resah. Terima kasih semesta, aku tidak akan menjelajah dalam basah. Genap sudah sehari semalam
 berkawan dengan jalanan. Waktu yang tertempuh tak kusangka jauh dari perhitungan. Tapi tak apa, semua sudah lunas terbayarkan, oleh orang-orang yang ku temui dalam perjalanan. Mereka yang ikhlas mengobral senyuman, juga yang sudi membantu dan mengantarkan. Sekarang aku tahu, mengapa seorang pejalan sejati selalu berkata jika hal terpenting dalam sebuah pengelanaan ialah bukan melulu tentang destinasi melainkan soal perjalanan itu sendiri. Jika ini benar-benar permainan Amazing Race, maka aku pastilah akan kalah karena hampir saja aku lupa apa target sebenarnya. Hatiku sudah lebih dulu terkesima oleh kebaikan-kebaikan orang-orang yang baru sekali itu kujumpai di jalanan. Jika perjalanan ini ku ibaratkan permainan Super Mario, maka bisa saling bertatap muka dengan Curug Cikaso adalah bagaikan lempengan bata penuh koin diujung perjalanan yang perlu disundul atau diabaikan begitu saja. Itu adalah bonus dari sebuah perjuangan.




Kulihat sekeliling, tak ada banyak orang disini. Bahkan beberapa yang masih tinggal pun sudah bersiap untuk pergi. Namun mengapa petang cepat sekali menjelang,
bagai kekasih yang cemburu ketika pasangannya bertemu dengan gadis lain.
Padahal puasku belum juga menghilang, ceritaku juga belum tuntas ku utarakan. Tentang Jogja, singgahku sebelum Cikaso. Ingin rasanya mengulur waktu barang sebentar, agar bisa menatap paras eloknya lebih jenak. Juga merendam kaki lelahku yang sudah berpetualang sejak kemarin lebih lama. Ahh… butir-butir air hujan pun jatuh lagi. Sepertinya memang tanda untuk segera kembali. Tetapi kembali kemana? Bahkan tempat untuk bermalam hari ini pun luput dari pikiran. Emak, jika sudah begini aku mau mengaku. sebenarnya aku tidak menemui seorang karib di Pekalongan, tetapi sekedar menggenapi ide yang sedikit nakal. Aku kini berada di sebuah desa di Sukabumi, yang sepi seperti kampung kita di Ngawi. Mak, maafkan aku yang sudah berbohong padamu. Semoga bersamaan dengan rintik hujan malam ini, do’a mu senantiasa menjagaku, di manapun aku berada.







Catatan: Semua foto adalah koleksi pribadi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teruslah Mengalir, Srambang!

Monodrama di Yogyakarta