Teruslah Mengalir, Srambang!

Oleh: Fitri Maryani

Hari ini adalah hari pertamaku kembali menyaksikan surya meretak di tanah kelahiran. Genap sudah selusin purnama aku melewatkan pagi di tanah lain. Pagi yang tak pernah sama seperti disini. Sebab di tanah lain itu tidak ada cerita tentang surya meretak dibalik hamparan sawah. Atau surya yang merangkak dari balik punggung gagah sebuah gunung. Di tanah lain itu, pagi adalah hiruk pikuk. Sedang di tanah kelahiranku, narasi pagi ialah masih tentang syair burung-burung. Masih tentang selimut dingin bagi raga-raga yang tidak tergesa. Juga tentang anak-anak sekolah yang masih mengayuh pedal sepeda berderet beriringan di jalan raya. Cerita pagi seperti ini adalah secuil candu yang selalu membuat ketagihan untuk pulang pada kampung halaman. 


Sisa hari ini, aku menjenguk Srambang sekali lagi. Setiap kali aku kembali ke kampung halaman, aku pasti sempatkan diri untuk mengunjungi Srambang. Ada ikatan istimewa terjalin diantara kami berdua. Srambang, bagiku ia bukan lagi hanya sekedar obyek wisata, tetapi ia telah menjelma menjadi seseorang dari masa lalu yang setia menyimpan kenang. Di hadapanku, air dingin dan jernihnya merawat kenangan-kenangan lama. Bukan saja tentang aku, sepertinya juga bagi kebanyakan anak-anak lain yang sekarang mulai meninggalkan masa remaja. Dulu, di hadapannya, pernah terdengar tawa-tawa bahagia perayaaan hari kelahiran. Mereka senang bukan kepalang merayakan bertambahnya usia, saling mengucapkan semoga cepat menjadi dewasa. Namun belakangan baru aku sadari, ternyata menjadi dewasa itu rumit dan kurang menyenangkan.
Dulu, di hadapannya pernah terdengar desah lelah juga tetesan peluh para siswa baru yang berjuang menjadi bintara Pramuka.
Dulu, di hadapannya pernah terdengar gombalan-gombalan cinta dari para remaja yang baru mengenal romansa. Dulu, di tempat  ini bergema sorakan bangga lulus Ujian lalu terdengar isak pada hari perpisahan masa putih biru dan putih abu-abu. Semuanya terjadi di sini. Srambang telah menjadi saksi metamorfosanya bocah-bocah seperti aku.


Pada masanya, Srambang yang berada di kaki Lawu ini pernah menjadi primadona. Bagi kami, para muda-mudi yang lahir di Ngawi. Tetapi hari ini kulihat ia tak seramai terakhir kali aku kesini. Dengan aku sendiri, bahkan pengunjung yang datang tak genap sampai selusin, padahal hari sudah menjelang siang. Srambang kini perlahan mulai ditinggalkan, demikian kata pemilik warung jajan yang satu-satunya masih membuka lapaknya. Langkah muda-mudi di sini mendadak lebih suka berjalan lebih jauh. Srambang telah kalah bersaing dengan obyek-obyek wisata lain. Sementara yang lain sudah jauh lebih artistik dan kekinian, Srambang masih tetap saja hanya sekumpulan air yang jatuh dari ketinggian kurang dari 25 meter lengkap dengan batu kalinya yang besar-besar.


Air terjun yang tersembunyi di balik hutan pinus ini tiada istimewa. Jika kau bercerita dari sudut deskripsi, menceritakan tentangnya pastilah hanya tentang hutannya yang hijau dan kucuran airnya yang sedingin es. Sama seperti kebanyakan obyek wisata air terjun di sudut-sudut lain.
Srambang, kini namanya menambah deret obyek wisata yang pernah menjadi destinasi tenar sebentar lalu tenggelam. Ramai dikunjungi ketika awal masih perawan, lalu diperkosa berjamaah dan pada akhirnya ditinggalkan. Seperti sebuah tragedi, tetapi setidaknya Srambang tidak akan sakit lagi oleh ulah pengunjung yang gemar melakukan aksi vandalisme.


Pada akhirnya Srambang memang bukanlah destinasi yang patut buat para pejalan anarki, tetapi bagi mereka para penikmat alam yang punya cinta tanpa syarat di dalam dirinya bagi alam raya.

Srambang! Meski langkah-langkah kaki telah banyak yang berbalik meninggalkanmu, tetaplah mengalir seperti kamu seharusnya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cikaso dan Kisah Kelana Pertama

Monodrama di Yogyakarta