Monodrama di Yogyakarta

Oleh: Fitri Maryani





Pernah kita berjanji untuk mengunjungi Yogya berdua. Kau bilang ,"Nanti kita naik Mira saja dari terminal Kertonegoro. Sampai Yogya kita berhenti di Prambanan untuk menghabiskan hari. Lalu ke Kraton Ratu Boko, melihat senja dari ketinggian. Setelah terang benar-benar menghilang kita turun, lanjutkan ke Malioboro dengan transjogja. Di sana nanti kita berjalan bergandengan tangan sepanjang jalan yang paling jadi primadona itu menikmati malam. Jika lelah, kita makan saja di angkringan pinggir jalan sambil dihibur seniman jalanan Yogya yang unik dan kreatif. Esok hari, ketika matahari kembali menyapa, kita berkeliling naik becak berdua. Atau kau mau jalan kaki saja, terserah, supaya kita bisa berlama-lama menautkan jemari. Ke Benteng Vredeberg lalu ke Taman Sari. Kemudian ke Alun-alun Kidul, berjalan melewati beringin kembar yang berumur ratusan tahun dengan mata ditutup, saling meminta kita adalah jodoh satu sama lain. Berharap langkah kita akan lurus sebagai pertanda akan dikabulkannya do'a kita. Lalu kita lanjutkan ke Keraton dan makan gudeg di Pasar Beringharjo." 

Aku ingat benar bagaimana kau menyusun sebuah rencana yang penuh romansa itu. Kala itu  kita duduk berdua memandang langit jingga ke arah barat. Mengantarkan matahari ditelan horizon pelan-pelan. Aku bisa melihat dengan jelas binar matamu ketika kau mengatakannya. Namun beberapa waktu kemudian, kau mendadak lupa ingatan. Entah kepalamu habis membentur tembok dengan keras atau apa, kau tak pernah mengatakannya. Sebab tiba-tiba kau pergi dariku hanya dengan beberapa larik kalimat yang kau kirimkan padaku melalui pesan singkat untuk menyudahi hubungan kita. Kau bilang, kau ingin berfokus pada dirimu sendiri dulu. Namun belakangan aku tahu jika tak lama setelah kau kirimkan pesan itu, kau kembali merajut benang romansa lagi dengan perempuan lain. 


Meski kau sudah tidak denganku, namun rencana mu itu benar-benar telah melekat di kepalaku dan membuatku ingin mengunjungi Yogya suatu waktu. Akhirnya pada pertengahan musim kemarau lalu, aku benar-benar mencatatkan kisah di tanah istimewa bernama Yogyakarta. Tentu saja tak semulus rencanamu. Sampai di Prambanan, matahari benar-benar bertengger tepat di atas kepala, membuatku cepat sekali kepayahan. Mengelilingi Prambanan hanya satu kali putar, lalu kuhabiskan dua jam berteduh di bawah pepohonan lahan parkiran. Setelah cukup lama melepas lelah, kuputuskan mengambil shuttle bus terakhir paket siang ke Kraton Ratu Boko. Lupakan romantisnya senja, sebab harga tiket masuk paketnya terlalu mahal untukku yang berkantong pas-pasan. 




Di Malioboro apalagi, alih-alih menyusuri jalan yang tersohor itu untuk menikmati malam, aku langsung menuju plang penanda jalan. Berkenalan dengan dua laki-laki dari Semarang dan saling membantu mengabadikan momen hanya demi eksistensi belaka. Setelah itu mencari penginapan dan langsung meninggalkan segala keriuhan dunia. Lupakan angkringan, lupakan seniman jalanan karena mataku sudah tak bisa lagi diajak berkompromi.

Esok hari, ketika matahari sudah naik sejengkal, aku mulai lagi melangkahkan kaki. Menuju destinasi-destinasi lain sekitaran Malioboro. Malioboro di pagi hari benar-benar berbeda dengan malam hari. Entah kapan segala keriuhannya berakhir. Kupikir Malioboro tak pernah tidur. Tetapi nyatanya, pagi di Malioboro sangat lengang dan tenang. Barangkali ia juga perlu terlelap, meski hanya sejenak. Ku arahkan langkah kakiku ke utara, menuju Benteng Vrederberg. Namun ternyata ia tutup. Setiap hari Senin, Vrederberg meliburkan diri dari melayani tamu-tamunya.


Ya sudah, aku pergi dengan sedikit rasa kecewa. Di depan benteng, aku bernego dengan sopir becak yang sudah berjejer menunggu pelanggannya. Aku minta diantarkan ke Taman Sari, Alun-alun Kidul, dan Keraton Yogyakarta. Walau pada akhirnya aku menyadari telah dipalak dengan cara yang sopan. Seperti misalnya, tiba-tiba dibelokkan ke toko kaos yang sudah kukatakan aku tidak mau membeli apa-apa. Ia terus membujukku supaya aku hanya melihat-lihat saja. Dan pada akhirnya, aku harus mengeluarkan uang untuk membeli kaos dengan harga yang kurasa jauh lebih tinggi dari yang beredar di kaki lima dengan kualitas sama. Hanya karena rasa tidak enak hati, sebab sang penjaga toko terlihat sedikit kurang ramah. Lalu tiba-tiba berhenti di rumah seseorang yang awalnya kupikir seorang karib sopir becak itu untuk urusan pribadinya. Tapi ia tiba-tiba menemaniku mengelilingi Taman Sari dan baru sadar beberapa jenak kemudian bahwa ia adalah seorang pemandu. 

Lagi-lagi aku harus merogoh kocek lebih dalam untuk memberi imbalan jasanya. Aku belajar, bahwa sebenarnya mereka saling bekerja sama dan berbagi hasil. Meski sudah disepakati di awal untuk sampai Kraton, sopir becak itu malah meninggalkanku begitu saja di Alun-alun Kidul ketika aku mencoba berjalan melewati beringin kembar dengan mata tertutup. Ingin ku mengumpat, namun selengkung senyum justru mengembang di bibirku. Aku menertawakan monodramaku sendiri dalam hati. Asuuuuudahlah!!! Kudinginkan diriku dengan menenggelamkan diri di antara lapak-lapak buku bekas dan bajakan seberang Kantor BNI. 






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cikaso dan Kisah Kelana Pertama

Teruslah Mengalir, Srambang!